Pendidikan mempunyai
peran yang amat penting dan sangat menentukan tidak hanya bagi perkembangan dan
perwujudan diri individu tetapi juga bagi pembangunan suatu bangsa dan
negara. UUD 1945 Pasal 31 menyebutkan
bahwa ”setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Amanat yang
terkandung dalam ayat tersebut adalah mendapatkan pendidikan merupakan hak
setiap individu tanpa memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada
mereka. Kemudian pada Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Pendidikan
yang bermutu haruslah mencakup dua dimensi yaitu orientasi akademis dan
orientasi keterampilan hidup yang esensial yaitu pendidikan yang dapat membuat
peserta didik yang memiliki kelainan dapat bertahan (survive) di kehidupan nyata. Di samping manajemen pendidikan khusus
yang baik, sistem dan metode pembelajaran merupakan hal penting yang harus
diperhatikan agar tujuan dari pembelajaran dapat dicapai dengan tepat sesuai
dengan kebutuhan khusus setiap peserta didik. Selain itu juga guru pendidikan
khusus memegang peranan penting, dimana
seorang guru pendidikan khusus yang profesional baik guru pendidikan khusus
yang mengajar di satuan pendidikan khusus dan guru pendidikan khusus yang
mengajar di sekolah umum dan
kejuruan akan mampu menjadi fasilitator dalam memberikan
keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan peserta didik yang memiliki kelainan
dengan baik. Di samping guru pendidikan khusus yang tak kalah pentingnya yaitu
sarana dan prasarana pendidikan khusus yang menunjang dalam pencapaian tujuan
pembelajaran. Oleh karena itu pendidikan khusus hendaknya dapat melihat semua
unsur yang ada sebagai sebuah kesatuan yang satu sama lain saling mempengaruhi
sehingga dapat mencapai suatu mutu pendidikan, dan akhirnya dapat mengantarkan
peserta didik yang memiliki kelainan menjadi pribadi yang tangguh, kreatif,
mandiri dan professional sesuai dengan potensinya masing-masing untuk meraih
masa depan peserta didik yang memiliki kelainan.
Pendidikan Khusus (PK)
sebagai bagian pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional terus ditingkatkan
pembinaannya agar lebih berperan dan lebih bertanggung jawab dalam upaya
peningkatan kualitas serta perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan dengan tetap mengindahkan ciri khasnya, serta memenuhi persyaratan
sesuai dengan per Undang-Undangan. Pengertian pendidikan khusus sesuai dengan
Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyebutkan bahwa : ”Pendidikan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan
dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Kemudian pada
Pasal 129 ayat (1) PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan menyebutkan bahwa : “Pendidikan khusus bagi peserta
didik berkelainan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik
yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial.” Pendidikan khusus
tersebut bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal
sesuai kemampuannya. Peserta didik yang memiliki kelainan terdiri atas peserta
didik : (1) tunanetra; (2) tunarungu; (3) tunawicara; (4) tunadaksa; (5)
tunalaras; (6) berkesulitan belajar; (7) lamban belajar; (8) autis; (9)
memiliki gangguan motorik; (10) menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat
terlarang, dan zat adiktif lain, dan (11) memiliki kelainan lain. Jenis
peserta didik tersebut sesuai dengan PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Pendidikan khusus bagi peserta didik
berkelainan tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Penyelenggaraannya dapat dilakukan
melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan
kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan.
Seperti dijelaskan di
atas bahwa peserta didik yang memiliki kelainan jenisnya cukup banyak, akan
tetapi di sini hanya akan dijelaskan mengenai peserta didik autis. Kemudian, karena
yang menjadi subyek Pusat Layanan Autis Provinsi bukan
hanya anak autis yang sudah bersekolah, maka selanjutnya sebutannya yaitu “Anak
Autis”. Banyak istilah atau sebutan
untuk anak autis, antara lain “Autism”, “Autisma”, “Autisme”, “Autistik”, dan
“Autis”. Kita pilih istilah “Autis” sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku di bidang pendidikan. Anak autis memiliki gangguan perkembangan
dalam interaksi sosial, komunikasi dan
bahasa, dan perilaku. Untuk itulah maka autis didefinisikan sebagai suatu kondisi yang dialami
seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak
dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Baron-Cohen
(1993) mendefenisikan
autis adalah suatu kondisi mengenai seseorang
sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi
yang normal. Akibatnya anak tersebut
terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat
yang obsesif.
Autis merupakan gangguan
perkembangan yang sangat sulit untuk dideteksi pada usia balita. Namun
anak-anak balita yang dapat dideteksi secara dini memiliki peluang lebih besar
untuk membaik jika intervensi dini diperkenalkan sebelum usia 5 tahun. Anak autis dapat tampak
normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua
seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara
tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain.
Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak
responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima
panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan).
Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari,
menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan.
Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain)
atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang
dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang
berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal
lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon
yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya;
suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu
dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka. Gejala ini mulai tampak
sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Dengan gangguan dan karakteristik
seperti diuraikan di atas maka ketika anak autis masuk ke sekolah
umum/sekolah kejuruan dan sekolah luar biasa (satuan pendidikan khusus) akan
menyulitkan para pendidik dan tenaga
kependidikan kalau terlebih dahulu belum ditangani sedini mungkin. Penanganan tersebut perlu
segera dilakukan yaitu untuk meminimalisir hambatan/gangguan
(perilaku repetitif, agresif, lack of attention, gangguan keseimbangan,
dll), membentuk perilaku adaptif dalam lingkungan , meningkatkan
kemampuan komunikasi, membentuk kemandirian anak dan mendukung kemampuan dasar
akademis. Penanganan seperti ini perlu dilakukan dalam sebuah pusat, klinik, rumah sakit atau lembaga yang
khusus dan professional bagi anak autis. Untuk itulah maka Pemerintah berupaya
untuk menyelenggarakan Pusat Layanan Autis Provinsi(PLA).
Pusat
Layanan Autis Provinsi adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah, yang manajemennya dikelola secara profesional, serta memberikan dukungan kekuatan (supporting power)
dan dukungan profesional (professional support) bagi kelangsungan
dan keberhasilan pendidikan bagi anak autis. Pengelolaannya dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip kemandirian profesiaonal
dan manajemen kendali mutu.
Posting Komentar